Bahaya Mengingkari Taqdir
BAHAYA MENGINGKARI TAQDIR
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Iman kepada qadar (takdir) termasuk rukun iman ke enam. Barangsiapa tidak beriman kepada qadar, maka imannya rusak, amalannya tertolak dan diancam dengan neraka di akhirat kelak.
MAKNA TAQDIR (QADAR)
Qadar secara bahasa artinya: taqdîr (penentuan). Sedangkan qadha’ secara bahasa artinya: hukum (keputusan). Qadha’ dan qadar adalah dua istilah, jika keduanya berpisah, maka maknanya sama, dan jika berkumpul, maknanya berbeda. Yaitu jika disebut qadar Allâh, maka semakna dengan qadha’ Allâh, begitu pula sebaliknya. Dan jika disebut bersama-sama, maka masing-masing memiliki makna yang berbeda, yaitu:
– Qadar adalah: apa yang telah Allâh Azza wa Jalla tentukan semenjak dahulu akan terjadi pada makhluk-Nya.
– Qadha’ adalah: apa yang Allâh Azza wa Jalla putuskan pada makhluk-Nya, yang berupa mewujudkan, meniadakan, atau merubah. Sehingga qadar mendahului qadha’. [Syarh Aqîdah Wâsithiyyah, hlm: 442, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah , penerbit: Dar Ibnil Haitsam]
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sesuai petunjuk al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu bahwa Allâh itu Pencipta segala sesuatu, Penguasanya dan Pemiliknya. Dan apa yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki pasti terjadi, sedangkan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Dan bahwa Allâh Azza wa Jalla telah menakdirkan ketetapan seluruh makhluk sebelum menciptakan mereka. Allâh Azza wa Jalla telah mentakdirkan rezeki, ajal, dan amal mereka, serta menulisnya di Lauhil Mahfuzh. Allâh juga telah menulis akhir perjalanan makhluk, yang berupa kebahagiaan dan kecelakaan”. [Hasyiyah Kitab at-Tauhid, hlm. 365]
DALIL AL-QUR’AN
Banyak sekali ayat yang menetapkan qadar, sehingga kita wajib mengimaninya. Antara lain, firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allâh. [Al-Hajj/22:70]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengetahui segala sesuatu dan juga menunjukkan bahwa Dia telah menulisnya di dalam kitab di sisiNya. Ini termasuk iman kepada taqdir.
Juga firman-Nya:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Allâh menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. [Az-Zumar/39:62]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jalla menciptakan segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia adalah makhluk yang Allâh ciptakan.
Juga firman-Nya:
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا ﴿٢٣﴾ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allâh” . [Al-Kahfi/18:23-24]
Ayat ini menunjukkan bahwa segala perbuatan manusia tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
DALIL SUNNAH
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Malaikat Jibril, ketika ditanya tentang iman:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Iman yaitu engkau beriman kepada Allâh, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhir, dan beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk.” [HR. Al-Bukhâri, no. 50; Muslim, no. 9]
Di dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” قَدَّرَ اللهُ الْمَقَادِيرَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّماوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ”
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allâh telah mentakdirkan semua takdir sebelum menciptakan langit-langit dan bumi 50 ribu tahun”. [HR. Ahmad, no. 6579; dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth]
EMPAT BAGIAN KEPADA QADAR
Iman kepada qadar mencakup empat perkara. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Firqah Nâjiyah (golongan yang selamat), Ahli Sunnah wal Jama’ah mengimani qadar yang baik dan yang buruk. Iman kepada qadar meliputi dua derajat, setiap satu derajat memuat dua perkara.
Derajat Pertama:
Beriman bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui seluruh makhluk-Nya, semua makhluk berbuat dengan pengetahuan Allâh Azza wa Jalla yang ada semenjak dahulu, yang ilmu Allâh disifati dengan azali (ada semenjak dahulu) dan abadi (terus menerus ada). Dan Dia mengetahui seluruh keadaan hamba, yang berupa ketaatan, kemaksiatan, rezeki dan ajal.
Kemudian Allâh menulis takdir-takdir seluruh makhluk di Lauhil Mahfuzh…
Derajat Kedua:
Beriman bahwa kehendak Allâh pasti terjadi, dan kekuasaan-Nya bersifat universal. Yaitu mengimani bahwa apa yang Allâh kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Tidak ada kejadian, baik berupa gerakan atau diam di langit dan di bumi kecuali dengan kehendak Allâh Azza wa Jalla . Tidak akan terjadi di dalam kerajaan-Nya apa yang tidak Dia kehendaki. Juga mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada satu makhluk pun di bumi dan di langit kecuali Allâh adalah penciptanya, tidak ada Pencipta selain-Nya, tidak ada Rabb (Pemilik; pengatur) selain-Nya. Bersamaan dengan itu, Dia memerintahkan para hamba-Nya untuk mentaati-Nya dan mentaati para Rasul-Nya, dan melarang mereka dari berbuat maksiat.
Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang berbuat ihsan, orang-orang yang berbuat adil, dan meridhai orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Dan Dia tidak mencintai orang-orang kafir dan tidak meridhai orang-orang fasiq. Dia juga tidak memerintahkan kekejian, dan tidak meridhai kekafiran untuk para hamba-Nya. Dan Dia tidak mencintai kerusakan.
Hamba adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan Allâh adalah Pencipta perbuatan-perbuatan mereka. Para hamba itu, ada yang Mukmin dan ada yang kafir, ada yang berbakti dan ada pula yang durhaka, ada yang melakukan shalat dan melakukan puasa. Hamba memiliki kemampuan dan kehendak terhadap perbuatan-perbuatan mereka, sedangkan Allâh adalah Pencipta mereka dan Pencipta kemampuan dan kehendak mereka. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ ﴿٢٨﴾ وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allâh, Tuhan semesta alam. [At-Takwîr/81: 28-29]
Derajat (kedua) dari (iman) kepada taqdir ini didustakan oleh mayoritas Qadariyyah, kelompok orang-orang yang dinamakan oleh Nabi n sebagai majusinya umat ini.
Ada juga sekelompok orang yang menetapkannya namun bersikap ghuluw (melewati batas) dalam hal ini, sehingga mereka memandang bahwa para hamba itu tidak memiliki kemampuan dan pilihan, dan mereka meniadakan hikmah dan mashlahat dari perbuatan dan hukum Allâh”. [Aqîdah Wâsithiyyah]
ANCAMAN NERAKA BAGI ORANG YANG MENGINGKARI TAQDIR
Diriwayatkan bahwa Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu anhu memberikan wasiat kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَطْعَمَ طَعْمَ الْإِيمَانِ، وَلَنْ تَبْلُغْ حَقَّ حَقِيقَةِ الْعِلْمِ بِاللهِ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: قُلْتُ: يَا أَبَتَاهُ وَكَيْفَ لِي أَنْ أَعْلَمَ مَا خَيْرُ الْقَدَرِ مِنْ شَرِّهِ؟ قَالَ: تَعْلَمُ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ. يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمُ، ثُمَّ قَالَ: اكْتُبْ فَجَرَى فِي تِلْكَ السَّاعَةِ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ” يَا بُنَيَّ إِنْ مِتَّ وَلَسْتَ عَلَى ذَلِكَ دَخَلْتَ النَّارَ
Wahai anakku! Sungguh kamu tidak akan bisa merasakan lezatnya iman, dan tidak akan mencapai kebenaran hakekat ilmu terhadap Allâh, sebelum kamu meyakini takdir yang baik dan yang buruk. Anaknya bertanya, “Wahai bapakku, bagaimana aku mengetahui takdir yang baik dan yang buruk?” Beliau menjawab, “Kamu mengetahui bahwa apa yang telah ditakdirkan tidak menimpa dirimu pasti tidak akan menimpamu, dan apa yang telah ditakdirkan menimpa dirimu pasti tidak akan meleset. Wahai anakku, aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allâh adalah pena, kemudian Allâh berfirman kepadanya: “Tulislah!”. Maka terjadilah semenjak saat itu dengan apa yang terjadi sampai hari kiamat. Wahai anakku, jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, kamu pasti masuk neraka. [HR. Ahmad, no. 22705; Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth]
AMAL TIDAK AKAN DITERIMA SAMPAI MENGIMANI TAKDIR
عَنْ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ، قَالَ: لَقِيتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا الْمُنْذِرِ، إِنَّهُ قَدْ وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنْ هَذَا الْقَدَرِ، فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ، لَعَلَّهُ يَذْهَبُ مِنْ قَلْبِي. قَالَ: “لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ، لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ، وَلَوْ رَحِمَهُمْ، كَانَتْ رَحْمَتُهُ لَهُمْ خَيْرًا مِنْ أَعْمَالِهِمْ، وَلَوْ أَنْفَقْتَ جَبَلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللهِ، مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، لَدَخَلْتَ النَّارَ” قَالَ: فَأَتَيْتُ حُذَيْفَةَ، فَقَالَ لِي مِثْلَ ذَلِكَ، وَأَتَيْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ، فَقَالَ لِي مِثْلَ ذَلِكَ، وَأَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ، فَحَدَّثَنِي عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ
Dari Ibnu ad-Dailami, dia berkata : “Aku bertemu Ubay bin Kaab, lalu aku berkata: “Wahai Abul Mundzir, Ada sesuatu keraguan dalam hatiku tentang masalah qadar, maka ceritakanlah kepadaku tentang suatu hadits, semoga hal itu hilang dari hatiku”. Maka beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Seandainya Allâh menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Allâh menyiksa mereka dengan tidak zhalim kepada mereka. Dan seandainya Allâh merahmati mereka, maka rahmat Allâh kepada mereka lebih baik dari pada amalan mereka. Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung uhud di jalan Allâh, Allâh tidak akan menerimanya darimu, sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Dan jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, pasti kamu menjadi penghuni neraka”.
Ibnu ad-Dailami berkata, “Lalu aku mendatangi Hudzaifah, maka beliau berkata kepadaku seperti itu. Aku mendatangi Ibnu Mas’ud, maka beliau berkata kepadaku seperti itu. Aku juga mendatangi Zaid bin Tsabit, beliau menceritakan kepadaku hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu.” [HR. Ahmad, no. 21589; Abu Dawud, no. 4699; Ibnu Majah, no. 77; Ibnu Hibban, no. 727. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth. Juga oleh syaikh Al-Albani di dalam Misykatul Mashâbih, no. 37/115 dan Silsilah Ash-Shahîhah, no. 2439]
Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala selalu melindungi dari segala keburukan dan membimbing di dalam segala kebaikan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9590-bahaya-mengingkari-taqdir.html